…Aku bersalah karena pernah menolak hatinya. Dan sekarang aku sadar kalau ternyata hati ini miliknya…
Krrriiiiiiiiiinngg…
Jam beker di kamar Ana berbunyi sangat nyaring membangunkan si empunya. Tangan Ana meraba-raba meja di sebelah tempat tidurnya. Mencari sumber suara yang membuatnya terbangun. Setelah tangannya berhasil menggapai jam beker kesayangannya itu, ia mematikannya dan kembali memasukkan tangannya kedalam selimut. Kalau kayak gini kejadiannya bisa-bisa tuh beker minta pensiun. Percuma nyalain alarm kalau masih juga nggak kebangun.
Tiba-tiba pintu kamar Ana diketuk dengan keras dari luar. Dengan malas Ana mengeluarkan wajahnya dari dalam selimut. Terdengar suara bunda memanggil namanya dari balik pintu.
“Ana, bangun, sayang!” ucap bunda sambil mengetuk pintu kamar putrinya.
“Masuk aja, bun, nggak dikunci.” Kemudian Ana kembali membenamkan wajahnya dibalik selimut.
Pintu terbuka dari luar. Bunda masuk dan segera menuju jendela untuk membuka gorden yang masih tertutup rapat. Cahaya mulai menyinari kamar Ana. Perlahan Ana membuka matanya dan mulai menggeliat.
“Aduh, bunda aku kan masih ngantuk,” ucap Ana yang masih terlihat ogah-ogahan untuk bangun.
Bunda tersenyum melihat tingkah putrinya yang memang susah sekali untuk bangun pagi. “Sayang, bunda ngerti, tapi liat dong ini udah jam berapa?”
“Emang sekarang jam berapa, bun?” Ana balik bertanya.
Lalu bunda memberikan jam beker pada Ana. Ana mengambil jam itu dari tangan bunda. Dan betapa kagetnya saat ia melihat jarum jam menunjuk pada angka enam.
“JAM ENAM!!!” saking kagetnya Ana langsung beranjak dari tempat tidurnya, kemudian menyambar handuk yang ia gantung dekat lemari dan segera menuju kamar mandi. Nggak sampai lima menit Ana sudah selesai mandi. Bunda yang masih berada dikamar Ana geleng-geleng sendiri melihat kelakuan putrinya.
Ana menyambar baju yang ada dilemari tanpa berniat untuk bercermin seperti kebiasaannya setiap hari. Kemudian sibuk memasukkan buku catatan dan kotak pensilnya kedalam tas. Beberapa menit kemudian ia sudah ada dibawah dengan rambut yang masih acak-acakan dan kunci mobil di tangan kanannya.
Kalau bukan karena ia ada kuliah setengan tujuh, mungkin ia sekarang masih tidur pulas di atas kasurnya yang empuk dan selimut hangatnya. Setelah dirasa tidak ada yang ketinggalan, Ana langsung pamit pada bundanya dan langsung melesat menuju kampusnya yang lumayan jauh.
***
Pagi ini Ana datang terlambat kekampus. Kalau bukan karena bunda yang sudah berjasa membangunkannya, mungkin sampai saat ini ia masih bermimpi indah. Ana berlari menaiki tangga kampus menuju lantai empat. Sialnya ia kuliah dilantai paling atas dengan dosen yang terkenal tepat waktu.
Untungnya Ana masih diperbolehkan masuk kelas. Tapi berhubung kursi di deretan depan sudah penuh, terpaksa ia duduk di deretan paling belakang. Saat ia duduk, ia dikagetkan oleh suara Hari yang setengah berteriak untuk menyapa dirinya.
“Eh, Ana,” ucap Hari sambil melambaikan tangan kanannya kearah Ana.
Ana yang kaget sontak mengangkat jari telunjuknya dan meletakkannya dibibir tanda untuk menyuruh Hari diam. “Ssstt… pelan-pelan, Ri!”
Hari hanya menjawab dengan cengiran khasnya yang menunjukkan barisan giginya. Kemudian ia mulai kembali memperhatikan bu Rina yang tengah menerangkan materi di depan kelas.
Setelah hampir dua jam setengah akhirnya mata kuliah pertama hari ini selesai juga. Sebenarnya mata kuliah Teori komunikasi adalah mata kuliah yang paling ngebosenin buat Ana. Tapi berhubung ia kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, mau nggak mau ia harus bela-belain bangun pagi buat ikut mata kuliah ini. Untung ia duduk di sebelah Hari tadi. Karena dari mulai Ana duduk sampai jam kuliah berakhir Hari terus-terusan membuatnya nggak bisa berhenti ketawa. Memang ajaib kelakuan anak itu.
***
“Sekian presentasi dari kelompok kami, maaf bila ada salah-salah kata. Terimakasih.” Aisyah memberikan kata-kata penutup untuk presentasi yang telah ditampilkan kelompoknya.
Mata kuliah kedua Ana hari ini adalah Komunikasi dan Perubahan Sosial yang diisi dengan presentasi kelompok. Kebetulan kelompok Ana adalah kelompok pertama yang harus tampil. Untung semua bahan sudah dipersiapkan dari awal jadi nggak terlalu memalukan saat di depan menyampaikan materi. Kelompok kedua yang tampil hari ini adalah kelompok Hari.
Ana berdiri dari duduknya kemudian beranjak untuk kembali ke kursinya. Ia lega sekali karena telah menyelesaikan presentasi hari ini. Saat ia akan menuju tempat duduknya, tiba-tiba terdengar celetukan dari salah seorang teman sekelasnya.
“Cie, Ri, elo duduk dikursi bekas Ana, tuh.” Ucap Fira ngasal disambut riuh tawa teman-teman.
Ana yang merasa bingung dengan ucapan Fira kemudian bertanya, “Kenapa gue?”
Nggak ada yang menjawab pertanyaan Ana. Semua teman-temannya masih sibuk tertawa dan bersiul-siul. Hari yang merasa dirinya jadi tersangaka utama langsung mati kutu. Untungnya bu Nurhastati langsung menyuruh seluruh mahasiswanya diam. “Sudah cukup semuanya. Diam!”
Serentak kelas yang sebelumnya berisik banget mendadak hening. Kegiatan belajar pun kembali dimulai. Sekarang giliran kelompok Hari yang mempresentasikan materi didepan kelas.
“Apa coba maksudnya anak-anak begitu?” tanya Ana yang masih terlihat bingung dengan apa yang terjadi barusan.
“Udahlah, Na paling juga itu mah becandaan anak-anak aja.” Celetuk Erma yang duduk disebelah Ana.
“Iya sih, yah udahlah.” Ana terlihat pasrah.
Kelas untuk hari ini pun selesai. Tapi tiba-tiba Daina, Putri, Nadin, Marsya, dan Rista mengerubunginya. Mereka terus bertanya soal apa yang terjadi tadi di kelas.
“Ana, ciee… ciee… elo sama Hari sekarang?” tanya Daina yang langsung bikin anak-anak yang lain ikut bercie-cie ria.
“Udah deh, An, si Hari anaknya baik, kok.” Tambah Nadin yang langsung ditanggapi oleh yang lainnya.
“iya, lagian elo juga jomblo kan, An?” tambah Rista sambil senyam-senyum penuh arti.
“Apa? kenapa harus gue?” Ana yang emang dasarnya lemot mengernyitkan dahinya karena masih belum bisa mencerna kejadian tadi.
“Elo udah putus kan sama Abi?” tanya Rista yang emang paling tahu soal masa lalu Ana.
“Iya, tapi kan bukannya si Hari masih punya pacar yah?” Ana nggak mau kalah.
“Engga, dia udah putus kali sama ceweknya.” Jawab Marsya meyakinkan.
“Udah ah, mending sekarang kita makan, gue laper.” Celetuk Ana datar.
Ana nyeloyor pergi meninggalkan teman-temannya yang masih bengong menunggu jawaban Ana. “Ayo, kalian kenapa malah bengong? Gue laper tau.” Ana kemudian menarik tangan Rista dan Yuni menuju kantin.
***
Besoknya di kantin.
“Eh, na, elo mau tau nggak kenapa sekarang anak-anak pada heboh gosipin lo sama si Hari?” tanya Marsya saat makan siang keesokan harinya.
“Nah itu dia yang mau gue tau. Emang elo tau, Sya?” Ana tampak antusias mendengar ucapan Marsya.
“Tau dong.”
“Cerita dong, Sya.”
“Okay gue cerita. Tapi elo biasa aja dong. Mupeng banget tampang lo.” Ana manyun seketika. Tapi ia langsung bersikap sangat manis dengan kedua tangannya dilipat diatas meja layaknya anak TK yang sedang diajari gurunya.
“Jadi gini, sekitar seminggu yang lalu gue sama anak-anak lagi pada ngumpul, tuh di taman belakang buat ngomongin acara libur semesteran nanti. Terus…”
“Terus apa?” potong Ana penasaran.
“Elo jangan motong dulu dong, Na.” Marsya melanjutkan ceritanya, “Terus tiba-tiba si Dako nanya sama si Hari, liburan nanti dia ikut apa nggak ke pantai. Hari bilang kalo dia kali ini nggak bakal ikut. Si Dako nanya lagi kenapa dia nggak ikut. Dan elo tau nggak si Hari bilang apa?” pertanyan Marsya makin membuat Ana penasaran.
“Sya, udah deh elo jangan bikin gue penasaran. Buruan lanjutin ceritanya.”
“Hari bilang gini, katanya dia bakal ikut kalo misalnya elo ikut, Na. itu yang bikin anak-anak ngegosipin elo sama dia.”
“APAA?...” sambil berteriak Ana langsung berdiri dari duduknya. Kontan aja semua penghuni kantin siang itu langsung melemparkan pandangan curiga ke arah meja mereka.
“Sssssttt…” Marsya langsung menarik Ana untuk duduk dan menutup mulut temannya itu dengan telapak tangannya.
“Elo serius?” Ana yang masih belum percaya sama cerita Marsya kembali bertanya setelah ia berhasil melepaskan tangan Marsya yang menyekap mulutnya. Kali ini dengan suara yang lebih pelan.
“Serius gue, masa gue bohong sih, Na, sama lo.”
“Na, kayaknya si Hari beneran suka deh sama lo,” ucap Yuni yang sejak tadi diam.
Ana kemudian menatap Yuni dengan tatapan nggak percaya, “Mana ada, Yun dia suka sama gue,”
“Gue setuju, tuh sama Yuni. Kayanya dia emang beneran suka sama lo.” Tambah Marsya membuat Ana makin merasa nggak karuan.
“Tenang aja, Na dia udah putus kali sama ceweknya. Jadi kalian sama-sama jomblo.” Rista nggak mau kalah.
“Udaaahh… cukup! Gue nggak mau denger lagi. Sebelum ada bukti yang bisa bikin gue percaya jangan pernah bahas masalah ini lagi sama gue. Okay!” kemudian Ana beranjak dari tempat duduknya meninggalkan dua temannya yang senyam-senyum melihat tingkah Ana.
***
Sudah hampir seminggu semenjak kejadian saat presentasi minggu lalu. Tapi belum ada tanda-tanda kalau Hari benar-benar menyukainya. Sebenarnya dilubuk hatinya yang paling dalam ia berharap apa yang teman-temannya bilang bukan cuma sekedar gossip. Ia berharap Hari benar-benar menyukainya tapi ia nggak bisa melakukan apa-apa karena ia takut apa yang dibicarakan teman-temannya cuma hanya untuk menggodanya saja.
Ana menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Ia masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Hatinya merasakan sesuatu yang ia sendiri nggak tahu perasaan apa itu. dalam hatinya ia bertanya, apakah ia memang benar-benar menyukai Hari? Atau cuma sekedar untuk melupakan Abi?
Abi adalah mantan pacar Ana yang sampai saat ini belum bisa ia lupakan. Wajarlah kalau ia masih belum bisa melupakan Abi karena mereka pacaran hampir tiga tahun lebih. Tapi semenjak Abi ketemu sama cewek yang bernama Nuria, semuanya berubah. Abi memutuskan hubungannya dengan Ana dengan alasan ia ingin sendiri.
Sekarang ia merasakan sesuatu yang sudah lama nggak ia rasakan. Tapi sampai saat ini ia masih belum yakin dengan apa yang ia rasakan. Ana takut kalau perasaan ini hanya sekilas dan nggak berarti apa-apa. Beberapa menit kemudian Ana mulai mengantuk. Matanya mulai tertutup perlahan. Ia pun tertidur pulas sekali.
***
Hari ini Ana menjalankan mobilnya dengan sangat perlahan. Sebenarnya ia malas untuk masuk kuliah. Tapi berhubung ini adalah mata kuliah dasar yang paling menentukan nasibnya di semester depan jadi dengan sangat terpaksa ia harus masuk.
“Hari ini presentasi kelompok terakhir yah. Jadi tolong kelompok yang presentasi persiapkan materinya dan untuk yang lain tolong perhatikan. Saya tidak mau ada yang ribut sendiri.” Jelas Pak Sapta, dosen Dasar Jurnalistik.
Ana langsung mengeluarkan buku panduannya dan membuka materi yang akan dibahas oleh kelompok di depan. Tapi tiba-tiba Bara megambil buku Ana.
“An, gue pinjem buku lo yah, Mau cari bahan pertanyaan nih.” Ucapnya datar sambil kemudian mengambil buku Ana.
Ana hanya bengong melihat bukunya diambil oleh Bara. Akhirnya ia memutuskan untuk memerhatikan penjelasan materi yang ditampilkan oleh kelompok di depan kelas. Tapi lama-kelamaan Ana merasa jadi orang bodoh. Ia berusaha untuk mengambil kembali bukunya dari Bara.
“Bar, buku gue mana? Gue mau pake.”
“Tuh, dipinjem Raptor,” ucap Bara sambil menunjuk pada teman disebelahnya.
“Tor, buku mana? Si Ana mau pake, tuh.”
“Oh, itu tuh di si Hari.” Jawabnya datar.
Hah? Hari? Yang bener aja buku gue di dia, Ana berkata dalam hati. Ana nggak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Ri, buku mana? Si Ana mau pake tuh, gimana sih loe?” ucap Bara lantang sampai-sampai pak Sapta pun dapat mendengar dengan jelas perkataan Bara.
“Oh,” ucap Hari datar sambil memberikan buku ditangannya pada Ana. Kelihatan banget kalau sebenarnya ia salah tingkah.
Tiba-tiba saja kelas menjadi sangat ribut. Seluruh penghuni kelas saat itu merasa mendapatkan momen yang pas buat ngeledekin HAri dan Ana. Ana hanya menyunggingkan senyum pasrah. Mendadak lidahnya kelu, ia merasa sangat malu saat itu. begitupun dengan Hari, dia nggak berkutik sama sekali saat teman-temannya asyik bercie-cie ria.
Pak Sapta yang sadar kalau kelas mulai nggak kondusif, mulai angkat bicara, “ Hey, udahlah, biarkan saja orang lain mau PDKT, repot banget kalian ini seperti anak SD saja.” Sontak seluruh penghuni kelas saat itu tertawa.
“Sudah kita lanjutkan, siapa yang mau bertanya?” lanjutnya menetralisir keadaan.
Setelah semua materi disampaikan, presentasi ditutup dan kuliah untuk hari ini selesai. Sebenarnya ini adalah hari terakhir Ana menjalani kegiatan perkuliahan. Karena mulai minggu depan ia sudah harus menghadapai Ujian Akhir Semester.
Ana bergegas meninggalkan ruangan kelas. Ia melihat Hari sedang serius mengobrol sama Marsya diluar kelas. Ia bingung antara ingin menyapa mereka, tapi ia masih merasa malu sama kejadian di kelas tadi. Akhirnya ia putuskan untuk menghindar. Tapi belum sempat Ana menghindari mereka, Marsya keburu memanggilnya.
“Na, mau kemana lo? Tenang si Hari masih disini kok,” celoteh Marsya membuat wajah Ana dan Hari merah menahan malu.
Hari hanya diam dan melempar senyum pada Ana. Ia bingung harus berbuat apa.
“Apaan sih, Sya? Tau gue.” Jawab Ana ngasal. Lalu Ana pamit sebelum anak-anak yang lain menambah parah keadaan.
Namun nggak jauh dari tempat Hari dan Marsya, Ana ketemu Dako dan Aga. Ana berusaha melewati mereka tanpa kelihatan tapi usahanya gagal. Dako keburu melihatnya dan memanggil namanya.
“Na, mau kemana? Si Hari mana?” celetuk Dako pada Ana.
“Apa sih, Dako?”
“Engga.” Jawabnya sambil senyum-senyum sendiri. “Eh, elo ikut yah ke pantai liburan nanti!” ajak Dako.
“Oh, anak-anak ngadain liburan bareng lagi?” tanya Ana penasaran.
“Iya, elo ikut yah, sekalian nemenin si Hari tuh.” Jawab Aga ngasal.
“Bener tuh, An. Elo harus ikut biar bisa main bareng dipantai sama Si Hari, kan romantis.” Tambah Dako yang langsung mendapat jitakan keras dari Ana.
“Aawww… Sakit tau.” Dako mengusap-ngusap kepalanya yang terkena jitakan Ana.
Ana nggak mau berlama-lama lagi bersama kedua makhluk nyebelin itu. Ia segera meninggalkan Aga dan Dako yang terus menertawakan tingkah Ana. Jelas saja mereka ketawa karena keliatan banget kalo Ana salah tingkah saat mereka ngeledekin dia. Sumpah, mimpi apa coba dia semalem sampai bisa kena malu berkali-kali?
***
Ana membenamkan wajahnya dibawah bantal. Ia kesal sekali pada teman-temannya yang terus meledeknya. Kenapa harus gue yang mengalami hal seperti ini? Kenapa nggak orang lain aja? Pikirnya dalam hati.
Ingin sekali ia bertanya pada Hari apa maksud dari semua ini. Karena sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda kalau Hari benar-benar menyukainya. Ana menyalakan laptopnya dan segera memutar track lagu di Itune-nya.
Lagu Viera yang berjudul rasa ini mulai mengalun dari laptop Ana membuat ia terbuai oleh lirik-lirik lagu itu. Ia hampir saja tertidur saking asiknya mendengar lagu itu.
… ku suka dirinya
mungkin aku sayang
namun apakah mungkin
dia menjadi milikku
kau pernah menjadi
menjadi miliknya
namun salahkan aku
bila ku pendam
rasa ini…
Derrttt… tiba-tiba terasa getaran halus dari HP-nya. Ana buru-buru mengambilnya. 1 message received…
Ana mambuka inbox di HP-nya dan segera membaca pesan yang baru saja masuk.
Hai, Na
Tertera nama Hari dilayar HP-nya sebagai si pengirim pesan. Ana kaget setengah mati saat dia tahu kalau yang mengirim pesan untuknya adalah Hari. Ia bingung antara senang dan kaget.
Ana nggak langsung membalas sms Hari. Ia malah sibuk mencari nomor HP Erma. Setelah ketemu ia langsung memencet tombol call di HP-nya. Terdengar bunyi nada sambung dan nggak lama kemudian Ana mulai sibuk bercakap-cakap di telepon.
“Halo,” sapa orang di seberang.
“Errmaaaaaaa…” teriak Ana di telepon.
Refleks Erma langsung menjauhkan gagang telepon genggamnya dari telinganya, “Busyet deh nih anak, kenapa sih, lo?”
“Hari barusan sms gue, Ma,”
“APA?” sekarang giliran Ana yang menjauhkan HP-nya dari telinganya. “Terus elo bales apa?” lanjut Erma penasaran.
“Belum gue bales, Ma” jawab Ana.
“Elo tunggu apa lagi sih, Na?”
“Gue bingung harus bales apa?”
Erma tau betul bagaimana sifat Ana yang emang dasarnya cuek banget. Jadi wajar kalau sahabatnya yang satu ini nggak tau harus gimana bales sms Hari, “Ampun deh, yah elo tinggal bales doang repot banget, sebisa lo aja, Na.”
“Gitu yah? Yah udah deh gue coba.” Ana pasrah.
“Yah udah, gih, buruan lo bales sms-nya, kasian kan dia nunggu lama.”
“Ok deh, thanks yah, Ma.” Kemudian Ana segera menutup pembicaraan dan segera memencet tombol end di HP-nya.
Ana kembali membuka sms dari Hari, ia memencet tombol reply. Segera ia mengetik balasan untuk Hari.
Hai, kenapa Ri?
Message sent…
Kemudian Ana meletakkan handphone-nya di atas meja. Nggak lama kemudian HP-nya kembali bergetar. Ternyata balasan dari Hari. Ana segera mambacanya.
Ga apa-apa hehe
Lagi ngapain, Na?
Ana senyam-senyum sendiri membaca sms dari Hari. Ia mulai sibuk membalas sms Hari.
Dikira kenapa, nggak lagi ngapa-ngapain
tadinya mau belajar tapi ga bisa masuk hahah
Ana segera memencet tombol send.
Ana seneng banget akhirnya Hari menghubunginya. Mereka terus balas-balasan sms. Dan nggak tau gimana awalnya, tiba-tiba Hari mengajak Ana untuk pergi kuliah bersama esok hari. Ia menawarkan diri untuk menjemput Ana besok. Nggak pake pikir-pikir lagi, Ana langsung mengiyakan ajakan Hari. Malam ini semuanya terbukti kalau teman-temannya nggak cuma sekedar ingin menggodanya.
***
Esoknya Hari benar-benar menjemput Ana. Dirinya sama sekali nggak nyangka kalau semua ini bakal benar-benar terjadi. Tapi kenapa perasaannya mendadak terasa sesak?
Hari memarkirkan motornya di tempat biasa. Ana sebenarnya was-was takut kalau ada yang melihatnya pergi bersama Hari. Tapi belum sampai lima menit mereka berjalan menuju gedung perkuliahan, Ana harus ikhlas mendengar suara suit-suit dari arah taman. Ternyata Dako dan teman-teman sekalasnya yang lain.
Ana segera pamit untuk menghindari celotehan teman-temannya dengan alasan ia harus memfotocopy tugas. Untunglah ia punya alasan, kalau nggak bisa gila dia harus rela dengerin ledekan teman-temannya.
Hari ini adalah hari pertama Ana menghadapi ujian akhir semester. Ia terus berusaha menghafalkan materi yang ada di catatannya sebelum ujian dimulai. Tapi otaknya nggak bisa menerima apa yang ia hafalkan. Pikirannya terus melayang. Mendadak muncul perasaan aneh di dalam hatinya. Ia mendadak bingung sama perasaan yang ia rasakan pada Hari.
Namun lamunannya buyar ketika salah seorang pengawas ujian memasuki ruangan. Ia segera mengeluarkan handphone-nya dan segera mengetik sms untuk Hari.
Buruan masuk
udah ada pengawas
Pesan segera dikirim…
Nggak lama Hari muncul dari balik pintu bersama yang lain. Beberapa menit kemudian ujian pun dimulai. Ana benar-benar nggak bisa konsentrasi. Ia terus memikirkan apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang ia rasakan.
Untung ujian untuk hari ini segera berakhir. Dan berhubung tiga hari mendatang kampus Ana akan dipakai untuk tes penerimaan mahasiswa baru, jadi nggak bakal ada ujian.
Lega rasanya ia bisa dengan cepat menyelesaikan ujian hari ini. Ana segera bergegas keluar ruangan. Rasanya ingin cepat-cepat menghirup udara segar. Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Aisyah.
“Wow, apaan sih, sya?” Ana yang kaget langsung menarik tangannya dari genggaman Aisyah.
“Temenin gue ke toilet, dong, kebelet nih,” ucap Aisyah sambil memasang muka memelas.
“Nggak usah main tarik juga kali, Sya.” Ana sedikit kesal.
“Heheheh…” Aisyah cuma nyengir.
Setelah mengantar Aisyah ke toilet. Tiba-tiba handphone Ana bergetar. Ana mendapatkan satu pesan dari Hari.
Dimana, An?
mau pulang bareng nggak?
Ana nggak langsung membalas sms Hari. Ia mencari Erma untuk meminta saran apa yang harus ia lakukan. Karena saat ini cuma Erma yang bisa dia ajak bicara serius soal cowok satu itu.
Untung nggak jauh dari tempat Ana berdiri Erma muncul. Ana segera memanggil sahabatnya yang satu itu.
“Ma, si Hari sms gue nih, dia ngajakin pulang bareng, gue harus jawab apa?” tanya Ana pada Erma.
“Hah? Yah udah elo tinggal bilang mau, Na.”
Ana berpikir sejenak, kemudian Ana segera membuka fitur message dan menulis pesan untuk Hari.
Gue masih di atas.
Elo dimana, Ri?
Tanpa pikir panjang Ana langsung menekan tombol send. Nggak sampai lima menit Hari sudah membalas smsnya.
gue di taman belakang, Na
elo kesini aja.
Ana nggak membalas sms Hari. Ia segera pamit pada Erma dan langsung menuju taman belakang. Ada perasaan malas menyelimuti dirinya. Tapi ia berusahan menepisnya.
Saat sampai di taman belakang Ana melihat teman-temannya ternyenyum penuh arti padanya. Sebenarnya ia nggak suka sama perlakuan teman-temannya yang seolah-olah menjadikannya sebagai bahan ledekan. Apalagi Dako, ia nggak henti-hentinya mengeluarkan celotehan-celotehan yang membuatnya mati kutu.
“Na, gue sama Dako mau nonton nih, mumpung besok libur kan. Elo ikut yah sama Hari.” Ajak Indy yang saat itu ada di sana juga.
“Hah? Nonton apa?” Ana setengah kaget mendengar ajakan Indy.
“Rencananya sih kita mau nonton karate kid.” Jawabnya.
Belum sempat Ana menjawab, tiba-tiba Rista berkomentar, “Hah? Karate kid? Mau ikut…”
“Apaan sih, Ta, orang Indy ngajakin Ana bukan elo.” Ucap Hari datar.
“Iih, jahat banget sih elo, Ri.” Rista Manyun.
Ana hanya tersenyum melihat tingkan temannya itu. “Na, elo ikut kan?” tanya Indy sekali lagi.
“Ayo lah.” Jawab Ana sekenanya.
Ana sebenarnya bingung antara malas buat ikut nonton dan nggak enak sama teman-temannya kalau dia nggak ikut. Lamunannya buyar ketika Rista tiba-tiba merengek ingin ikut nonton.
“Aaaa… mau ikuuutt,” rengek Rista pada teman-temannya.
“Yah, ayo, tapi elo pergi sama siapa, Ta?” tanya Indy yang merasa kasihan pada Rista.
“Iya, Ta elo pergi sama siapa? Kan Indy sama Dako, Gue sama Ana, nah, elo sama siapa?” Hari menambahkan membuat Rista tambah merengek kayak anak kecil minta balon.
“Elo mau naik angkot sendirian?” Dako nggak mau ketinggalan.
Rista hanya bisa manyun. Ia juga bingung sebenarnya harus ngajakin siapa untuk pergi nonton. Nggak mungkin banget kan dia naik angkot sendirian sementara teman-temannya dapet tebengan gratis.
“Ky, elo ikut dong! Yah… yah… yah…” Rista membujuk Rifky yang ada di sebelahnya.
“Nggak ah.” Jawab Rifky singkat.
“Ayo lah, Ky, ikut yah!” Rista mencoba membujuk Rifky.
“Gue nggak bawa dompet, Ta. STNK sama SIM gue ada di dompet.” Rifky mencoba menjelaskan kenapa dia nggak mau ikut.
“Nggak bakal ada polisi juga kali, Ky.” Rista mencoba meyakinkan temannya yang satu itu.
“Bukan gitu, Ta, gue nggak bawa uang juga.”
“Uang mah elo bisa pinjem dulu sama gue.” Dako menengahi.
Setelah debat ini-itu masalah uang, STMN, dan SIM ketinggalan, akhirnya Rifki setuju untuk ikut.
***
“Gimana dong? Filmnya cuma ada yang jam enam sore,” ucap Dako.
“Yah udah sih, kalo gue mah nggak apa-apa” jawab Hari santai.
“Elo nggak apa-apa, yang lain gimana?” celetuk Dako sewot.
“Gue sih santai.” Ucap Indy dan Rista berbarengan.
Ana hanya terdiam. Dia sebenarnya ingin pulang tapi nggak enak juga kalau tiba-tiba dia bilang nggak boleh pulang malem dan membuat acara nonton bareng ini batal. Tiba-tiba Hari bertanya padanya membuat lamunannya buyar.
“Na, elo gimana? Nggak apa-apa pulang malem?”
“Eh… iya, nggak apa-apa, Ri. Ntar tinggal gue ngabarin aja ke rumah.” Walaupun sebenarnya Ana malas untuk pulang malam, tapi ia nggak enak kalo bilang nggak mau, khususnya sama Hari. Secara Ana melihat Hari tampak seneng bisa nonton bareng kayak gini.
“Bener nggak apa-apa? kalo nggak bisa nggak usah dipaksain.” Tanya Hari lagi.
“Beneran nggak apa-apa, kok.” Jawab Ana meyakinkan teman-temannya.
Setelah semuanya setuju akhirnya Dako mewakili yang lain untuk mengantri tiket masuk. Berhubung mereka datang terlalu pagi, jadi mereka memutuskan untuk turun dulu ke bawah mencari camilan.
Mereka memasuki salah satu toserba yang tersedia di dalam mall. Setelah mendapatkan apa yang dicari, mereka membayar belanjaannya. Karena bingung mau kemana lagi akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke bioskop.
Namun ternyata kursi tunggu yang tersedia untuk pengunjung terlihat penuh. Hanya ada satu yang tersisa. Nggak mungkin cukup buat berenam. Akhirnya salah seorang dari mereka mengusulkan untuk menunggu di rooftop yang juga merupakan tempat parkir. Karena bioskop di mall ini terletak di paling atas gedung. Mereka keluar malalui pintu samping yang menghubungkan antara bioskop dengan rooftop.
“Anginnya kenceng banget di sini,” celetuk Indy memulai pembicaraan.
Ana yang memang berjalan disebelah Indy hanya mengangguk dan tersenyum tanpa berkata apa-apa. Ana nggak terlalu banyak ngomong. Dia bingung harus ngomong apa. Karena sebelumnya Ana nggak terlalu dekat dengan mereka. Untung ada Rista, seenggaknya Ana nggak terlalu canggung padanya.
Hari mengeluarkan kamera SLR yang sengaja ia bawa. Kemudian sibuk foto-fotoin Ana yang lagi melamun. “Na,” panggil Hari.
“Apa?” Ana yang lagi ngeliat kesembarang arah sontak membalikkan wajahnya dan…
Ckkrek… Hari memotret wajah Ana yang nggak terkontrol. Ia senyam-senyum sendiri melihat wajah Ana dilayar LCD kameranya.
“Hari, apaan sih?.” Ana sebenarnya kesal sama Hari. Tapi ia mencoba menahannya.
“Nggak apa-apa, Na. bagus kok elo natural kalo difoto.”
Sebenarnya jawaban Hari membuat Ana geer. “Iya, tapi gue nggak suka difoto, Ri,” jawab Ana mencoba menutupi salah tingkahnya.
“Tapi gue suka, Na fotoin lo. muka elo tuh natural, enak fotoinya.” Belum sempat Ana berkomentar, anak-anak yang lain malah sibuk suit-suitin Ana dan Hari,
“Cie… cie… cie…” celoteh anak-anak berbarengan. Ana cuma bisa diam mendengar komentar anak-anak.
Ana paling nggak betah kalo anak-anak udah mulai meledeknya. Aduh, apaan sih, nih? Kayak anak kecil banget. Ucapnya dalam hati. Untung nggak lama kemudian pintu teater satu dibuka. Rifky yang sadar lebih dulu segera mengajak teman-temannya untuk masuk.
***
Jujur Ana senang bisa nonton bareng Hari. Tapi kenapa tiba-tiba ia ingat Abi? Ia berusaha konsentrasi pada film yang diputar. Tapi susuh sekali untuk berkonsentrasi, pikirannya terus tertuju pada Abi. Ayo dong, Na elo nggak bisa kayak gini terus, Ana berkata dalam hati. Ingin sekali ia meyakinkan dirinya sendiri kalau yang disebelahnya sekarang Hari, bukan Abi.
Setelah hampir dua jam setengah, akhirnya film yang mereka tonton selesai. Ana lega sekali akhirnya ia bisa pulang. Ia ingin sekali cepat-cepat sampai rumah. Nggak butuh waktu lama untuk Hari mengantar Ana ke rumahnya, karena mall tempat mereka nonton tadi sama rumah Ana nggak begitu jauh.
“Mau masuk dulu, Ri?” tanya Ana saat mereka sudah sampai di depan rumah Ana.
“Nggak deh, Na. nggak enak udah malem. Gue langsung pulang aja.” Jawab Hari yang sibuk memutar balikkan motornya.
Ana lega mendengar pernyataan Hari, karena memang nggak enak juga terima tamu malem-malem. “Oh, yah udah kalo gitu, elo hati-hati yah, Ri.”
“Iya sip, gue pulang, Na.” pamit Hari pada Ana yang langsung melesatkan motornya pulang.
Nggak nunggu lama-lama lagi Ana langsung masuk kedalam rumah. Ana merasa sangat lelah banget hari ini. Setelah membereskan diri Ana langsung tidur. Ia nggak mau mikir yang macem-macem malam ini, makanya ia memutuskan untuk langsung tidur. Untung besok libur jadi ia nggak perlu bangun pagi ataupun menghafal untuk ujian.
***
Ana bingung sama apa yang ia rasakan sekarang. Jujur ia suka pada Hari, tapi dia juga nggak bisa bohong kalau sebenarnya ia masih mengharapkan Abi. Entah apa terjadi pada Ana saat itu, karena tiba-tiba saja Ana menjauhkan dirinya dari Hari. Bukan cuma Hari saja yang bingung sama perubahan sikap Ana. Tapi semua orang yang tahu hubungan mereka juga bertanya-tanya ada apa dengan Ana?
Setelah kejadian nonton bareng sama Hari nggak ada lagi cerita tentang mereka. Ana terus menjauh membuat Hari nggak tahu lagi harus berbuat apa. meskipun teman-teman dekat Ana terus mendukung Hari untuk tetap maju tapi Hari ragu dengan sikap Ana yang semakin lama semakin menjauhi dirinya. Akhirnya Hari memutuskan mundur dari misinya mendekati Ana.
Setelah ujian akhir semester selesai liburan pun dimulai. Hari dan Ana menjalani liburan masing-masing. Seolah nggak pernah ada kejadian apa-apa antara mereka. Tiga bulan kemudian kuliah semester tiga dimulai. Semua mahasiswa Fikom angkatan Ana mulai menjalani kuliah dengan bidang kajian masing-masing. Ana sendiri memilih bidang kajian Jurnalistik bersama Rista, Tia, Bara dan beberapa taman lainnya.
Sedangkan Hari memilih bidang kajian Publik Relation bersama Dako, Indy, Rifky dan hampir semua anak-anak yang dulu sekalas dengan mereka disemester satu dan dua. Sejak Hari masuk PR ia mulai dekat dengan cewek bernama Yunita Shiren. Awalnya Ana biasa saja mendengar berita itu. Tapi kok ada perasaan aneh dalam hati Ana? Ia merasa sesak sekali saat Rista memberitahu kalau Hari mengajaknya dan Rifky nonton bareng Sharen.
“Na, gue diajakin nonton bareng sama Rifky, Shiren, Hari nih, seneng banget gue.” Ucap Rista berbunga-bunga.
Deg… ada yang aneh yang Ana rasakan di dalam hatinya saat itu. “Oh, iya? Wah seneng tuh kayaknya?” Ana berusaha bersikap sesantai mungkin di depan Rista. Ia nggak mau teman baiknya yang satu itu tahu perasaannya sekarang.
***
Ana menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia membantingkan tubuhnya ke kasur dan membenamkan wajahnya dibalik bantal. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya. Tapi yang keluar malah air matanya. Ana menangis, ada perasaan menyesal menyelimuti hatinya. Ia kangen banget saat-saat dekat sama Hari. Pergi kuliah bareng, nonton bareng, diledekin anak-anak, dan banyak lagi.
Semua yang pernah terekam dimemori Ana muncul lagi satu persatu. Tangisan Ana mulai menjadi. Seandainya ia bisa mengulang waktu. Tapi ia sadar apa yang terjadi sekarang pada Hari dan dirinya adalah murni kesalahannya. Kalau dulu ia nggak mikirin Abi dan mencoba menerima Hari mungkin kejadiannya nggak akan kayak gini. Semuanya salah gue, tuturnya dalam hati.
Ana menyalakan laptopnya. Ia memutar sebuah lagu yang ada di track Itunes-nya. Aku bukan untukmu dari Rossa.
“Kenapa penyesalan selalu datang diakhir cerita? Dulu aku pernah sangat sombong karena tidak memperdulikan hatinya. dia datang dengan ketulusannya, tapi aku dengan keangkuhanku kemudian menolaknya. Membuatnya terluka dan jera untuk kembali memberikan hatinya untukku. Aku bersalah karena telah menolah hatinya dan sekarang aku sadar kalau ternyata hati ini miliknya.”
Sebuah karya sederhana yang diangkat dari pengalaman singkat yang dialami penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar