Kamis, 14 Oktober 2010

Maaf ku harus pergi

oleh: Nur laela syarif


“Aya kamu mau kan jadi pacar aku?” Tanya Daniel pada Aya. Tanpa berpikir panjang Aya langsung menganggukkan kepala tanda ia menerima cinta Daniel.

Kejadian yang terjadi lima bulan yang lalu masih membekas di pikiran Aya. Sebenarnya cewek mungil ini ingin sekali melupakan saat-saat terindah dalam hidupnya bersama Daniel lima bulan yang lalu. Ia sudah tidak tahan dengan sikap aneh Daniel yang seolah menghindari dirinya. Bahkan sudah hampir empat bulan ini Daniel tidak lagi menghubunginya. Yang membuat Aya lebih kesal adalah ucapan teman-temannya yang selalu bilang kalau Daniel selingkuh. Pernah suatu ketika Rasti teman sebangku Aya bercerita kepadanya bahwa ia melihat Daniel sedang bersama cewek nggak dikenal di sebuah kafe yang letaknya nggak jauh dari lokasi sekolah Aya. Setiap kali Aya menghubungi Daniel , handphonenya selalu nggak aktif, sekalipun aktif Daniel nggak pernah mengangkatnya. Awalnya Aya nggak percaya, tapi setelah bertanya ke beberapa teman Daniel, Aya mulai percaya. Sesaat kemudian Aya mulai mengantuk. Diliriknya jam weker di samping tempat tidurnya, jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.30. sudah waktunya ia tidur karena besok ia harus sekolah.
“Pagi Bunda, Ayah mana?”pagi-pagi sekali Aya sudah bangun karena hari ini ia nggak mau terlambat lagi masuk kelas akibat macet.
“Pagi sayang, Ayah udah pergi dari tadi, ada rapat katanya.”jawab Bunda.
“Ya udah Aya pergi sekarang aja, takut telat.”Aya menarik tasnya yang tergolek manis di meja makan dan langsung mencium tangan Bunda.
“Lho nggak sarapan dulu, Ay?” Tanya Bunda perhatian.
“Nggak usah deh takut telat. Aya pergi dulu, Bun, Assalamuallaikum.” Aya mengucap salam sambil pergi meninggalkan Bunda.
Sebenarnya hari ini Aya kurang enak badan, tapi kalau ia harus nggak masuk sekolah dan ketinggalan pelajarang lagi ia nggak rela. Wajarlah jika ia nggak mau terlalu banyak ketinggalan pelajaran karena Aya termasuk ke dalam deretan siswa-siswi berprestasi di sekolah. Setiap tahun Aya selalu menjadi juara umum, Nggak heran jika semua guru mengenalnya. Ditambah lagi Aya di percaya oleh seluruh penghuni sekolah untuk maju menjadi ketua OSIS.
Hari ini Aya kurang bersemangat mengikuti pelajaran kimia yang disampaikan oleh pak Togar. Meskipun ini adalah pelajaran favoritnya. Rasanya hari ini ia ingin segera pulang dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
“Soraya Ayeshanamita!” terdengar suara pak Togar memanggil Aya. Namun si pemilik nama tetap diam. Aya tnggak menyadari bahwa sejak tadi pak Togar memanggil namanya.
“Soraya Ayeshanamita!” Suara pak Togar kembali terdengar. Aya yang tersadar dari lamunannya langsung berdiri memberi tanda bahwa sejak tadi ia ada.
“Saya, Pak?” dengan sedikit ragu Aya bertanya untuk memastikan bahwa benar namanya yang pak Togar sebut.
“Sini kamu!” perintah pak Togar pada Aya. Aya segera menghampiri pak meja pak Togar. Pikiran Aya melayang seketika. Jangan-jangan gue bakalan dihukum lagi gara-gara ketahuan ngelamun, ucapnya dalam hati. Namun semua kekhawatirannya hilang saat pak Togar memberikan buku absen untuk segera diberikan ke ruang TU.
Pelajaran hari ini telah selesai. Aya duduk sendiri di ruang OSIS. Biasanya Rasti menemaninya, tapi hari ini Rasti harus menjemput mamanya di badara karena mamanya Rasti baru pulang dari Jepang. Semua teman teman OSIS sudah pulang, sekolah pun sudah sepi. Kembali Aya teringat pada Daniel. Tapi Aya sagera menepisnya. Aya mengeluarkan handphone dari saku bajunya untuk menelepon ke rumah minta segera di jemput.
“Halo…,” sapa orang di seberang.
“Halo, Bi, tolong mintain mang Ujang buat jemput saya dong, Bi!” pinta Aya pada bi Minah.
“Waduh, Non, mang Ujang lagi jemput Bapak di kantor tuh.” ucap bi Minah, pembantu di rumah Aya.
“Oh, gitu ya. Ya udah deh saya pulang sendiri aja.” Suara Aya makin melemah.
Aya mematikan handphonenya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia berjalan dengan langkah lambat sambil sesekali memegangi kepalanya yang terasa pusing. Penglihatannya berkunang-kunang. Belum ada 2 menit Aya berjalan, tiba-tiba Aya terjatuh. Pingsan.
***
Kangker darah yang diderita Aya ternyata sudah masuk stadium akhir. Hanya pencangkokan sumsum tulang belakang yang harus dilakukan untuk kesembuhan Aya. Tapi sampai saat ini tak ada satu pun yang cocok dengan Aya. Nggak ada yang tahu mengenai penyakit yang diderita Aya, termasuk Daniel. Aya nggak mau Daniel merasa kasihan melihat kondisinya sekarang. Meskipun Aya sakit tetapi ia tetap ceria. Semakin hari kondisi fisik Aya semakin memburuk. Rambutnya yang dulu tebal kini sedikit demi sedikit mulai berkurang. Bahkan sekarang Aya lebih sering pingsan.
Sudah hampir dua bulan Aya berbaring di rumah sakit. Setiap satu minggu Aya harus cuci darah minimal dua kali. Dokter memvonis umur Aya hanya tinggal enam bulan lagi. Kecuali ada keajaiban dari Tuhan. Setiap hari Aya harus mengkomsumsi obat-obatan yang jumlahnya nggak sedikit untuk penghilang rasa sakit dan agar Aya dapat bertahan hidup lebih lama. Tapi kenyataannya Aya malah nggak terlihat lebih baik. Malah kondisinya semakin memburuk.
“Ay, loe serius nggak mau kasih tahu Daniel?” Tanya Rasti yang menyempatkan diri menjenguk sahabatnya sepulang sekolah.
“Gue rasa begini lebih baik, gue nggak mau dia ngeliat kondisi gue kayak gini. Gue nggak mau dia ngerasa kasihan sama keadaan gue.” Ucapan Aya membuat Rasti nggak bisa berkata apa-apa lagi.
“Ya udah kalo itu emang keputusan loe, yang penting loe sekarang harus cepet sembuh, gue kesepian ,Ay, nggak ada loe di sekolah.” ucap Rasti sambil memeluk Aya.
“Loe tenang aja gue pasti sembuh kok,”
“Janji, ya loe harus sembuh,”
Aya hanya menjawab dengan sebuah anggukkan kecil. Rasti pun mengerti. Nggak lama kemudian Rasti pamit pulang karena sudah terlalu lama ia menemani Aya. Bunda Aya pun sudah datang.
“Bun, waktu Aya udah nggak lama lagi, kalo nanti Aya udah nggak ada bunda tolong kasih ini ya, ke Daniel!”Aya memberikan sebuah amplop berwarna kuning ke tangan Bunda.
“Kamu kok ngomongnya gitu sih, bunda yakin kok kamu pasti sembuh dan kamu bisa ketemu langsung sama Daniel.”
“Bun, Aya bilang kan seandainya, Aya cuma ngerasa aja kalo Tuhan udah hampir manggil Aya,” Bunda menangis seketikan saat mendengar ucapan putrinya itu. Ia merasa bersalah karena kurang memperhatikan kondisi fisik putrinya.
Bunda langsung menghapus air matanya ketika Aya melihatnya menangis.
“Bun, bunda kok nangis?, bunda tenang aja di mana pun Aya berada Aya bakal selalu nemenin bunda,” Bunda langsung memeluk putri semata wayangnya itu.
“Bunda nggak nangis kok, cuma kelilipan aja, sekarang kamu istirahat ya, bunda mau ngambil air minum dulu.” Aya hanya membalas dengan anggukkan kecil.
Hari demi hari keadaan Aya semakin memburuk. Hapasnya sudah mulai nggak teratur dan dibantu oleh alat bantu pernapasan. Setiap hari teman-temannya silih berganti menjenguk Aya di rumah sakit termasuk para guru. Mereka merasa prihatin terhadap keadaan Aya. Namun nggak ada yang bisa mereka lakukan selain mendoakan Aya.
“Aya seneng kalian semua bisa dateng ke sini, aku kangen banget sama sekolah, tapi aku nggak bisa balik lagi buat sekolah, kayaknya udah waktunya aku untuk istirahat. Semuanya makasih udah mau peduli sama aku.”
“Ras, gue mau minta tolong sama loe, kalo nanti gue di panggil Tuhan loe tolong jagain bunda gue, ya!” Rasti hanya mengangguk. Perlahan mata Aya mulai menutup, napasnya mulai nggak teratur, detak jantungnya melemah. Semua orang panik. Rasti segera keluat untuk memanggil dokter. Di luar ruangan semua orang terus berdoa untuk Aya. Semoga ada keajaiban untuknya agar Aya dapat bertahan hidup.
Namun Tuhan berkehendak lain. Aya harus pergi. Dia harus meninggalkan orang-orang yang sangat menyayanginya untuk selamanya. Tapi itu berarti Aya sudah benar-benar bebas dari penderitaannya.
Satu minggu semenjak kepergian Aya bunda merasa sangat kesepian. Bunda hanya mengurung diri di kamarnya. Sebelum meninggal Aya berpesan pada Rasti untuk menjaga bundanya. Rasti nggak tega terus-terusan melihan tante Maya, bundanya Aya bersedih. Ia pun mengajak tante Maya untuk berlibur. Untung tante Maya nggak menolaknya.
“Bi minah, tolong jaga rumah, ya!, kalo ada Daniel datang, tolong kasih surat ini, bilang dari Aya!” ucap bunda sambil memberikan amplop yang dititipkan Aya padanya sebelun ia meninggal.
“Baik, Bu.” Jawar bi Minah sambil menganggukkan kepala tanta mengerti.
“Kalo ada apa-apa Bibi telepon saja saya atau Rasti!” tambah bunda.
“Baik, Bu.” Sekali lagi bi Minah menganggukkan kepala.
Baru saja mobil Rasti melesat pergi, pintu rumah kembali diketuk seseorang. Bi Minah segera membukakan pintu. Seseorang berkulit putih, berbadan atletis berdiri tegak di hadapan bi Minah.
“Siang, Bi!” Sapa cowok itu ramah.
“Siang, cari siapa toh, Mas?” Tanya bi Minah pada cowok ganteng di hadapannya.
“Aya ada, Bi?” Tanya cowok itu.
“Lho, mas ini siapanya mbak Aya toh?”
“Saya Daniel, dulu saya sering ke sini, Bibi lupa, ya?” Senyum sanis tersungging di wajah ganteng Daniel.
“Oh, mas Daniel, toh, maaf mas, Bibi lupa, maklum sudah tua.”
“Aya ada, Bi?” Daniel kembali mengulang pertanyaannya yang belum sempat bi Minah jawab.
“Memangnya mas Daniel ndak tahu toh?” Raut wajah bi Minah berubah seketika.
Daniel heran melihat sikap bi Minah tiba-tiba berubah menjadi cemas. “Tahu apa, Bi?”
“Maaf, Mas, tapi mbak Aya sudah meninggal satu minggu yang lalu, memangnya mas Daniel ndak dikasih tahu toh?”
Jegeeerrrrrr… wajah ceria Daniel tiba-tiba hilang. Penyesalan terlihat jelas di wajahnya yang putih. Daniel kembali teringat semua yang telah ia lakukan kepada Aya dulu. Ia nggak menyangka kalau Aya akan pergi secepat itu tanpa ia sempat minta maaf pada Aya. Tubuhnya terasa lemah, pikirannya melayang. Bi Minah menjadi cemas melihat Daniel yang hanya diam saja.
“Mas, mas Daniel ndak apa-apa?” suara bi Minah membuyarkan semua lamunan Daniel.
“Nggak kok, Bi, saya nggak apa-apa.”
“Kalo gitu ini ada titipan dari mbak Aya.” Bi Minah menyoborkan amplop warna kuning kepada Daniel.
“Apa ini, Bi?”
“Bibi juga ndak tahu, Mas, tadi sebelum Ibu pergi, Ibu nitipin amplop itu sama saya, katanya dari mbak Aya untuk mas Daniel.” Panjang lebar bi Minah menjelaskan.
Setelah Daniel menanyakan di mana Aya di makamkan, Daniel segera pamit pada bi Minah. Daniel nggak langsung membawa mobilnya pergi dari daerah rumah Aya. Ia ingin lebih lama berada di sana. Daniel teringat amplop yang diberikan bi Minah padanya. Ia segera membuka amplop itu. Ada sebuah kertas di dalamnya. Perlahan ia membuka lipatan kertas berwarna senada itu. Ia mulai membacanya.

Dear Daniel,
Waktu kamu baca surst ini mungkin aku udah di panggil Tuhan. Sebenernya aku pengen ngomong langsung sama kamu tapi kayaknya tuhan nggak ngizinin kita buat ketemu lagi. Niel, maafin aku karena aku udah masuk ke dalam kehidupan kamu. Selama kamu nggak ada aku berusaha buat benci sama kamu tapi aku nggak bisa. Semakin aku benci kamu, aku semakin sayang sama kamu.
Maaf kalo aku nggak ngasih tahu kamu tentang penyakit aku. Aku nggak mau kamu sedih dan ngerasa bersalah sama aku. Aku udah maafin kamu dan lupain semuanya. Aku mau kamu bahagia, Daniel, dengan atau tanpa aku.
Kamu harus janji sama aku, kamu nggak akan pernah nyakitin siapa-siapa lagi. Kamu harus sukses, buat semua orang bangga sama kamu. Kamu harus jadi fotografer yang hebat… Jangan demi aku atau siapapun. Tapi demi diri kamu sendiri.
Aku nggak akan kemana-mana, kok…

With love

Aya

***
Mobil Daniel melaju dengan sangat kencang. Pikirannya melayang, rasa bersalah terus mengusiknya. Air mata Daniel mulai mengalir. Ia menyesal. Andai ia bisa memutar waktu. Ia terus mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang tanpa tujuan. Tanpa ia sadari dari arah kanan sebuah truk tengah melaju dengan kencang dan… BRRAAAKK…